1. Hutan dalam persfektif Umum
Hutan adalah
sebuah kawasan yang ditumbuhi dengan lebat oleh pepohonan dan tumbuhan lainnya.
Kawasan-kawasan semacam ini terdapat di wilayah-wilayah yang luas di dunia dan
berfungsi sebagai penampung karbon dioksida (carbon dioxide sink), habitat
hewan, modulator arus hidrologika, serta pelestari tanah, dan merupakan salah
satu aspek biosfer Bumi yang paling penting (wikipedia 2009).
Hutan adalah
bentuk kehidupan yang tersebar di seluruh dunia. Kita dapat menemukan hutan
baik di daerah tropis maupun daerah beriklim dingin, di dataran rendah maupun
di pegunungan, di pulau kecil maupun di benua besar. Hutan merupakan suatu
kumpulan tetumbuhan, terutama pepohonan atau tumbuhan berkayu lain, yang
menempati daerah yang cukup luas. Pohon sendiri adalah tumbuhan cukup tinggi
dengan masa hidup bertahun-tahun. Jadi, tentu berbeda dengan sayur-sayuran atau
padi-padian yang hidup semusim saja. Pohon juga berbeda karena secara mencolok
memiliki sebatang pokok tegak berkayu yang cukup panjang dan bentuk tajuk
(mahkota daun) yang jelas.
Suatu kumpulan
pepohonan dianggap hutan jika mampu menciptakan iklim dan kondisi lingkungan
yang khas setempat, yang berbeda daripada daerah di luarnya. Jika kita berada
di hutan hujan tropis, rasanya seperti masuk ke dalam ruang sauna yang hangat
dan lembab, yang berbeda daripada daerah perladangan sekitarnya. Pemandangannya
pun berlainan. Ini berarti segala tumbuhan lain dan hewan (hingga yang
sekecil-kecilnya), serta beraneka unsur tak hidup lain termasuk bagian-bagian
penyusun yang tidak terpisahkan dari hutan.
Sedangkan
pengertian dari hutan alami yaitu hutan yang terutama terdiri dari pohon-pohon
indijenus yang tidak pernah ditanam oleh manusia. Hutan-hutan alam tidak
mencakup perkebunan (Anonim 2009). Hutan alam ini memiliki batasan pengertian
bahwa wilayah ini di dominasi pepohonan melalui siklus suksesi secara alami
pula.
Indonesia
memiliki 10% hutan tropis dunia yang masih tersisa. Hutan Indonesia memiliki
12% dari jumlah spesies binatang menyusui/mamalia, pemilik 16% spesies binatang
reptil dan ampibi, 1.519 spesies burung dan 25% dari spesies ikan dunia.
Sebagian dianataranya adalah endemik atau hanya dapat ditemui di daerah
tersebut.
Luas hutan alam
asli Indonesia menyusut dengan kecepatan yang sangat mengkhawatirkan. Hingga
saat ini, Indonesia telah kehilangan hutan aslinya sebesar 72 persen (World
Resource Institute, 1997). Penebangan hutan Indonesia yang tidak terkendali
selama puluhan tahun dan menyebabkan terjadinya penyusutan hutan tropis secara
besar-besaran. Laju kerusakan
hutan periode 1985-1997 tercatat 1,6 juta hektar per tahun, sedangkan pada
periode 1997-2000 menjadi 3,8 juta hektar per tahun. Ini menjadikan Indonesia
merupakan salah satu tempat dengan tingkat kerusakan hutan tertinggi di dunia.
Di Indonesia berdasarkan hasil penafsiran citra landsat tahun 2000 terdapat
101,73 juta hektar hutan dan lahan rusak, diantaranya seluas 59,62 juta hektar
berada dalam kawasan hutan. (Badan Planologi Dephut, 2003).
Pada abad ke-16
sampai pertengahan abad ke-18, hutan alam di Jawa diperkirakan masih sekitar 9
juta hektar. Pada akhir tahun 1980-an, tutupan hutan alam di Jawa hanya tinggal
0,97 juta hektar atau 7 persen dari luas total Pulau Jawa. Saat ini, penutupan lahan di pulau Jawa
oleh pohon tinggal 4 %. Pulau Jawa sejak tahun 1995 telah mengalami defisit air
sebanyak 32,3 miliar meter kubik setiap tahunnya (Walhi 2004).
Hal tersebut
memberikan fakta bahwa peranan hutan terutama hutan alam sangatlah besar. Baik
secara ekologi, ekonomi maupun sosial masyarakata yang serta merta
memperngaruhi secara langsung maupun tidak langsung terhadap kelangsungan hidup
masyarakat di sekitarnya. Kemudian, dampak yang di akibatkan memberikan
pertimbangan kepada kebijakan dan disiplin ilmu yang terlibat untuk meninjau
peranan hutan alam secara langsung terhadap 3 (tiga aspek), Ekologi, ekonomi
dan sosial budaya.
2 Peran Hutan
Alam Dari Aspek Ekologis
Hutandenganpenyebarannya
yang luas, dengan struktur dan komposisinya yang beragam diharapkan mampu
menyediakan manfaat ling kungan yang amat besar bagi kehidupan manusia antara
lain jasa peredaman terhadap banjir, erosi dan sedimentasi serta jasa
pengendalian daur air. Peran hutan dalam pengend alian daur air dapat
dikelompokkan sebagai berikut :
Sebagai pengurang atau pembuang cadangan air dibumi melalui
proses :
Evapotranspirasi
Pemakaian air ko nsumtif untuk pembentukan jaringan tubuh
vegetasi.
Menambah titik-titik air diatmosfer.
Sebagai penghalang untuk sampainya air di bumi melalui
proses intersepsi.
Sebagai pengurang atau peredam energi kinetik aliran air
lewat :
Tahanan permukaan dari bagian batang d i permukaan
Tahanan aliran air permukaan karena ad any a seresah d i
permukaan.
Sebagai pendorong ke arah perb aikan kemampuan w atak fisik
tanah untuk memasukkan air lewat sistem perakaran, penambahan bahan organik
ataupun adany akenaikan kegiatan biologik di dalam tanah.
Semua peran veg etasi tersebub ersifat dinamik yang akan
berubah dari musim ke musim maupun dari tahun ke tahun. Dalam keadaan hutan y
ang telah mantap, perubahan peran hutan mungkin hana nampak secara musiman,
sesuai d eng an pola sebaran hujannya.
Peran hutan terhadap pengendalian daur air dimulai dari
peran tajuk menyimpan air sebagai air intersepsi. Sampai saat ini intersepsi
belum dianggap sebagai faktor penting dalam daur hidrologi. Bagi aerah yang
hujann a rendah dan kebutuhan air dipenuhi dengan konsep water harvest maka
para pengelola Daerah Aliran Sung ai (DAS ) harus tetap memperhitungkan besarny
a intersepsi karena jumlah air yang hilang sebagai air intersepsi dapat
mengurangi jumlah air yang masuk ke suatu kawasan dan akhirnya mempeng aruhi
neraca air regional.
Dengan demikian pemeliharaan hutan yang berupa penjarang
ansangat penting dilaksanakan sesuai frekuensi yang telah ditetapkan.
3. Peran Hutan Alam Dari Aspek Ekonomis
Pengusahaan hutan rakyat adalah suatu usaha yang meliputi
kegiatan: produksi, pengolahan hasil, pemasaran dan kelembagaan. Dari cakupan
pengusahaan hutan rakyat tersebut dapat diketahui bahwa stakeholder dalam usaha
hutan rakyat ini cukup banyak, antara lain pemilik lahan, petani penggarap,
buruh tani, pekerja kasar, sampai dengan pedagang dan industri serta pemerintah
daerah. Dengan banyaknya pihak yang terlibat dalam pengusahaan hutan rakyat
tersebut, wajar jika usaha hutan rakyat memberikan kontribusi pendapatan kepada
lebih banyak stakeholdernya. Sebagaimana diketahui bahwa hutan rakyat sampai
saat ini diusahakan oleh masyarakat di pedesaan, sehingga kontribusi manfaat
hutan rakyat akan berdampak pada perekonomian desa. Manfaat ekonomi hutan
rakyat secara langsung dapat dirasakan masing-masing rumah tangga para pelakunya
dan secara tidak langsung berpengaruh pada perekonomian desa. Ekonomi pedesaan
yang dimaksud disini lebih diartikan sebagai ekonomi yang berlaku di wilayah
pedesaan.
Pendapatan dari hutan rakyat bagi petani masih diposisikan
sebagai pendapatan sampingan dan bersifat insidentil dengan kisaran tidak lebih
dari 10% pendapatan total yang mereka terima. Hal ini disebabkan karena
pengusahaan hutan rakyat masih merupakan jenis usaha sambilan. Usaha hutan
rakyat pada umumnya dilakukan oleh keluarga petani kecil biasanya subsisten
yang merupakan ciri umum petani Indonesia. Golongan petani subsisten tersebut
menurut Scott (1976) memiliki kebiasaan mendahulukan selamat artinya apa yang
diusahakan prioritas pertama adalah untuk mencukupi kebutuhan konsumsi sendiri,
yang biasa disebut dengan etika subsisten. Luasnya cakupan penguasaan hutan
memberikan sebaran kontribusi ekonomi yang juga cukup luas di masyarakat desa.
Pada sub sistem produksi dan pengolahan, hutan rakyat juga memberikan
kontribusi pendapatan terhadap orang-orang di luar pemilik hutan rakyat,
misalnya buruh tani atau tenaga kerja lainnya. Ini dapat terlihat jelas pada
hutan-hutan rakyat yang dikelola secara intensif maupun secara sambilan, dimana
pengusahaan hutan rakyat ini mampu menyerap tenaga kerja di desa tersebut.
Untuk aktivitas pemasaran hasil, pengusahaan rakyat memberikan kontribusi
pendapatan terhadap para pelaku dalam sistem distribusi. Dapat dipahami bahwa
jika pengusahaan hutan dilakukan secara sambilan (input teknologi dan manajemen
yang rendah) hanya memiliki manfaat langsung ekonomi kepada pemilik lahan dan
tengkulak, sehingga belum nampak adanya kontribusi pendapatan terhadap pihak
lain.
Sedangkan pada pengusahaan hutan rakyat yang dilakukan
secara intensif, diperkirakan mampu memberikan manfaat ekonomi terhadap
pihak-pihak penyedia input yang lebih luas. Dengan demikian peran pengusahaan
hutan rakyat dalam perekenomian desa, minimal mampu memberikan kontribusi
pendapatan rumah tangga pelaku hutan rakyat (secara mikro), yang pada gilirannya
memberikan kontribusi terhadap pendapatan desa. Selain peran dalam memberikan
kontribusi pendapatan, pengusahaan hutan rakyat juga mampu memberikan lapangan
pekerjaan terhadap tenaga kerja produktif juga mampu menstimulir usaha ekonomi
produktif lainnya sebagai produksi lanjutan dari pengusahaan hutan rakyat,
bahkan hutan rakyat juga terbukti mampu meminimalisir dampak krisis moneter.
Untuk meningkatkan peran hutan rakyat dalam perekonomian
desa maka perlu adanya intensifikasi pengelolaan hutan rakyat, sehingga hutan
rakyat lebih mampu melebarkan spektrum perannya dalam meningkatkan perekonomian
khususnya di pedesaan sebagai basis usaha hutan rakyat. Makin intensifnya
pengusahaan hutan rakyat secara umum akan meningkatkan penyerapan tenaga kerja
dan memberikan kontribusi pendapatan yang lebih luas, karena para pelaku yang
terlibat dalam pengusahaan hutan rakyat makin banyak. Dengan terjadinya
peningkatan pendapatan dari masing-masing individu yang terlibat dalam
pengusahaan hutan maka secara tidak langsung, usaha hutan rakyat ini akan ikut
mendongkrak perekonomian pedesaan.
Pengusahaan hutan rakyat dalam perekonomian pedesaan
memegang peranan penting baik bagi petani pemilik lahan hutan rakyat maupun
untuk tumbuhnya industri pengolahan kayu rakyat. Meskipun demikian, sampai saat
ini masih banyak diterapkan apa yang disebut “daur butuh”, yakni umur pohon
yang dipanen ditentukan oleh kebutuhan pendapatan. Di masa mendatang sistem
pemanenan seperti ini diharapkan akan berubah menjadi sistem pemanenan yang terencana
karena semakin meningkatnya permintaan dari industri-industri pengolahan kayu
yang berada dekat di daerah sekitar hutan rakyat, seperti industri
penggergajian dan industri meubel. Permintaan kayu rakyat dirasakan semakin
meningkat sejak pemerintah memberlakukan moratorium atau jeda balak. Dengan
adanya kebijakan tersebut maka pasokan kayu dari hutan negara ke industri
pengolahan kayu juga semakin berkurang. Dalam kondisi seperti ini, hutan rakyat
muncul menjadi salah satu alternatif sumber pasokan bahan baku kayu. Menurut
Hardjanto (2003) permintaan kayu rakyat terdiri dari tiga macam yaitu: a)
permintaan pasar lokal, b) industri menengah yang produknya untuk scope yang
lebih luas dan berorientasi ekspor, dan c) industri besar padat modal. Pada
industri menengah alat-alat yang digunakan relatif lebih sederhana, serta
kwalita dan randemen kayu olahan yang dihasilkan masih rendah. Selain itu masih
belum ada standarisasi produk, sehingga terkadang kurang memenuhi atau sesuai
dengan permintaan pasar.
.4. Peran Hutan Alam Dari Aspek Sosial Budaya
Pemerintah Indonesia telah menawarkan sistem hutan
kemasyarakatan sejak tahun 1998, namun konsep tersebut belum mengedepankan
rakyat sebagai aktor utama dalam pengelolaan hutan. Rakyat hanya diajak, dan
bukan rakyat yang menentukan sistem pengelolaan hutan. Kemudian di tahun 2003,
dikeluarkan kembali pencanangan social forestry oleh pemerintah, yang konsepnya
tidak jauh beda dengan konsep hutan kemasyarakatan.
Selain itu, sangat banyak terdapat sistem pengelolaan hutan
oleh rakyat yang ditawarkan. Misalnya Perhutani menawarkan konsep Pengelolaan
Hutan Bersama Masyarakat, dimana masyarakat diperbolehkan melakukan penanaman
tanaman semusim di sela tanaman jati, dimana arealnya masih dikelola oleh
Perhutani dan masyarakat hanya ikut ‘menumpang’ di lahan tersebut.
Sistem Hutan Kerakyatan yang digagas WALHI memiliki dua kata
kunci, yaitu “sistem hutan” dan “kerakyatan”. Sistem hutan untuk menggambarkan
bahwa hutan bukan sekedar tegakan kayu, melainkan suatu sistem pengelolaan
kawasan yang terdiri dari berbagai elemen, diantaranya hutan alam, hutan
sekunder, sungai, danau, kebun, ladang, permukiman, hutan keramat, dan banyak
lagi yang tergantung komunitas dan sistem ekologinya. Kerakyatan menegaskan
bahwa aktor utama dalam pengelolaan hutan adalah komunitas lokal.
Sistem Hutan Kerakyatan [SHK] memiliki prinsip-prinsip di
antaranya bahwa:
Aktor utama pengelola adalah rakyat [masyarakat
lokal/masyarakat adat];
Lembaga pengelola dibentuk, dilaksanakan dan dikontrol secara
langsung oleh rakyat bersangkutan;
Memiliki wilayah yang jelas dan memiliki kepastian hukum
yang mendukungnya;
Interaksi antara masyarakat dengan lingkungannya bersifat
langsung dan erat;
Ekosistem menjadi bagian penting dari sistem kehidupan rakyat
setempat;
Pengetahuan lokal [indigenous knowledge] menempati posisi
penting dan melandasi kebijaksanaan dan sistem pengelolaan hutan, disamping
pengetahuan modern untuk memperkaya;
Teknologi yang dipergunakan diutamakan teknologi lokal
ataupun jika bukan teknologi lokal, merupakan teknologi yang telah melalui
proses adaptasi dan berada dalam batas yang dikuasai oleh rakyat;
Skala produksi tidak dibatasi, kecuali oleh prinsip
kelestarian [sustainability];
Sistem ekonomi didasarkan atas kesejahteraan bersama, dan;
Keanekaragaman hayati mendasari berbagai bidangnya, dalam
jenis dan genetis, pola budidaya dan pemanfaatan sumberdaya, sistem sosial,
sistem ekonomi dan lain sebagainya.
Sistem Hutan Kerakyatan sendiri sebenarnya adalah pola-pola
pengelolaan hutan yang telah sejak lama dilakukan oleh rakyat dengan
aturan-aturan lokal yang disepakati bersama oleh rakyat itu sendiri [aturan
adat/lokal]. Sistem Hutan Kerakyatan juga tidak mengarah hanya pada kayu, namun
akan lebih pada pengembangan pengelolaan hasil hutan non kayu sebagai produk
utama dari sistem hutan kerakyatan. Kalaupun akan menebang pohon, hal tersebut
hanya lebih pada untuk pemenuhan kebutuhan rumah tangga dan komunitas. Peran
pemerintah dalam sistem hutan kerakyatan akan lebih pada dukungan [fasilitasi],
kemitraan, pembuat kebijakan umum [prinsip-prinsip] dan pengakuan kawasan
kelola rakyat. Kesinambungan atau lebih populer disebut kelestarian
(sustainability) dalam konteks pengelolaan sumberdaya hutan sejak semula telah
dipahami sebagai pencapaian dan pemeliharaan output hutan sebagai sumberdaya
yang dapat diperbaharui (renewable resources) secara terus menerus (perpetuity)
atau dalam dimensi kehidupan secara lintas generasi (intergeneration). Dengan
demikian, syarat pengelolaan hutan yang penting adalah menghindarkan terjadinya
pemanfaatan sumberdaya yang berlebihan (overuse) atau melebihi daya dukungnya
(carrying capacity) dan dalam pengusahaannya melakukan reinvestasi minimal sama
dengan apa yang diambil dari sumberdaya. Hal tersebut penting agar sumberdaya
dapat terus mempertahankan strukturnya (ecological atau environmental
sustainability) dalam upaya mempertahankan fungsi dan manfaatnya (production
atau economic sustainability).
Akan tetapi berkaitan dengan sumberdaya hutan di Indonesia,
dimana manusia (baca masyarakat) dalam faktanya menjadi elemen integral atau
sulit terpisahkan dari sumberdaya hutan, kelestarian ekologi dan ekonomi
dimaksud hanya dimungkinkan dicapai bilamana pengelolaan sumberdaya juga
senantiasa memperhatikan kehidupan dan penghidupan masyarakat lokal. Pemahaman
sederhana siapa yang dimaksud dengan masyarakat lokal (local community), adalah
sekelompok manusia yang bermukim/bertempat tinggal di dalam atau di sekitar
hutan serta kehidupannya tergantung pada sumberdaya tersebut (lihat Sardjono,
2004). Ditinjau dari latar belakang budaya yang dimilikinya dalam kaitannya
dengan sumberdaya, masyarakat lokal dikategorikan atas dua, yaitu ‘tradisional’
(masyarakat adat) ataupun non-tradisional’. Prinsip perhatian terhadap kehidupan
dan penghidupan masyarakat lokal tersebut yang kemudian diangkat sebagai bagian
dari elemen-elemen penting sertifikasi pengelolaan sumberdaya hutan lestari,
selanjutnya disebut sebagai Kelestarian Fungsi Sosial.
Catatan:
Hutan sangat memiliki banyak manfaat, sudah selayaknya manfaat ini harus tetap kita jaga agar tidak terjadi hal yang sebaliknya. Setiap elemen kehidupan sangat penting guna menjaga keseimbangan yang ada. Hutan sebagai penyeimbang kehidupan berusaha menjaga kita dari bencana, jika penjaga kita musnah, tentu bancana akan sangat mudah menghampiri kita. Jangan hancurkan masa depan kita dengan kenikmatan sesaat dari memanfaatkan hutan secara tidak bijaksana dan berlebihan.
Hutan ini hanya titpan untuk anak cucu kita, biarkan anak cucu kita juga mendapatkan kenikmatan dan kenyamanan yang sama. Go Green Indonesia....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar